Davos 2016 punya kenangan tersendiri bagi hidup saya, karena di sinilah saya merasa punya arti dan bisa membahagiakan teman-teman seperjuangan (terutama di Komunitas Al Amin, yang konon sudah bubar). Sebelumnya saya menulis tentang Davos 2016 yang berhubungan dengan investasi serta kejadian Bom Sarinah (Jakarta). Sambil terus menjalani kehidupan seperti halnya orang kampung biasa, kali ini saya akan meneruskan cerita saat mengikuti Davos 2016 (via Teleconference).
Di bawah ini ada beberapa poin yang saya kumpulkan dalam rangka mempelajari kembali, apa-apa saja yang saya dapat sepanjang Davos 2016, antara lain:
1. Gedung Buruk The Movie
Ini adalah film panjang kami yang dibuat sepanjang tahun 2015. Proses pembuatan film ini dimulai tanggal 13 Februari 2015, lalu test screening pertama sekitar bulan Agustus 2015, tepatnya di lokasi pembuatan. Film ini mengalami 2 kali revisi, hingga yang terakhir adalah draft ke-3.
Film ini pernah mampir ke wall facebook Catherine Ryan Hyde (seorang novelis Amerika), lalu membuat saya ber-partner dengan Furqy Tan (produser film Wanita Tetap Wanita) dan Kikien Kinanthi (penulis dongeng Perancis), ceritanya kami bertiga adalah Produser di film ini (belajar).
Film ini pernah mampir ke Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Koperasi kota Depok, desa Tambangan Kelekar dan yang terakhir mampir ke facebook World Economic Forum 2016. Pada WEF 2016, trailer film ini saya selipkan pada saat hendak bertanya ke John Green (novelis The Fault in Our Stars), sampai berakhir dengan quote dari Melinda Gates dengan keyword “Goals”. Ini sesuai dengan pembahasan saya dan Furqy mengenai tema besar film ini, yaitu mengenai cita-cita atau dalam bahasa Inggris-nya “Goal”.
Melalui Melinda Gates, saya mendapat semacam feedback yang memang connect dengan sasaran dari film ini dibuat, yaitu tentang "Goal". Menurut quote Melinda, yang dalam bahasa Indonesia-nya diartikan sebagai... DENGAN BERCITA-CITA, PALING TIDAK KAMU PUNYA RENCANA. Maksudnya (kurang-lebih), bercita-cita itu perlu, tapi bagaimana cara kita mewujudkannya? Proses-proses apa yang akan kita lewati sehingga cita-cita itu tercapai? Apakah melalui pendidikan, atau melatih skill, atau bagaimana? Itu poin terpenting dari bercita-cita.
Di saat bersamaan, pada blog Bill Gates (yang link-nya didapat dari twitter), saya jadi tahu bahwa kami di Indonesia ini masih lebih beruntung ketimbang mereka yang ada di Afrika. Bill Gates juga menjelaskan tentang masa depan petani Afrika yang cemerlang, karena hanya petani yang bisa menjawab tantangan, “Bagaimana memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dunia?”.
So, film yang dibuat dengan darah dan air mata ini berhasil mendapat respon dari Melinda Gates. Buat saya dan tim, ini adalah kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata,
2. Negosiasi dan Nash Equilibrium
Di sisi lain, saya juga menemukan bahwa untuk bernegosiasi antar negara-negara di dunia itu memerlukan skill yang tidak mudah. Butuh pengetahuan yang tidak sedikit, terutama mengenai isu-isu terkait di setiap negara. Membayangkan bahwa setiap negara punya masalah masing-masing yang harus dibawa ke meja negosiasi (imajinasi langsung ke Konferensi Meja Bundar) buat saya memunculkan pertanyaan, “Bagaimana tehnik agar setiap negara bisa terpuaskan dengan sebuah perjanjian?”. Davos 2016 punya cara tersendiri, namun saya berusaha menyimpulkan dengan apa-apa yang telah saya pelajari.
Bermula dari kebiasaan bermain keyword dan menaklukkan keywords “President Hacker” di Google, saya menyimpulkan bahwa ada 3 syarat dibutuhkan dalam skill negosiasi, antara lain:
a) Separate The People From The Problem,
b) Trust,
c) Nash Equilibrium.
3. Happiness (Kebahagiaan)
Uniknya Davos 2016 adalah saat saya membaca artikel mengenai “kebahagiaan”. Sekian milyar orang di dunia ini tentu ingin mendapat kebahagiaan, bahkan sudah ada nilai ukur kebahagian sebuah negara yang disebut GNH (Gross National Happiness).
Hal yang menarik dari artikel WEF 2016 adalah, ternyata Indonesia termasuk negara yang rendah untuk ukuran kebahagiaan. Lalu muncul pertanyaan di benak saya, “Bagaimana mereka bisa mengukur, sementara orang-orang luar itu tidak pernah datang ke Indonesia?”. Cara yang paling mudah (mungkin) adalah dengan aktivitas di dunia maya. Kita dengan tanpa sadar sudah berpartisipasi dalam sebuah riset untuk mengukur tingkat kebahagiaan.
Kemudian muncul pertanyaan, “Bukankah satu orang bisa punya akun netizen banyak?” sehingga data bisa dimanipulasi? Iya, tapi kan banyak faktor yang menyebabkan kecurangan itu bisa diminimalisir, mulai dari Alamat IP, lalu kesesuaian data dan KTP (e-KTP mungkin), dsb. Jadi kita anggap saja bahwa kita setuju bahwa pada saat survei, kita termasuk kurang bahagia.
Namun menurut saya, kita juga bisa membuat survei tandingan kalau mau, yang tertutup dari pihak luar sehingga ukuran kebahagiaan kita bisa diwakili oleh satu sumber, semisal BPS (Biro Pusat Statistik). Jadi pihak luar tidak bisa semena-mena men-cap bahwa negara kita kurang bahagia hanya berbekal status galau di social media (misal),
4. Pekerjaan yang menggigit di tahun 2016
Sekitar 2014, saya sering memperhatikan email dari Forbes mengenai informasi pekerjaan yang bergengsi. Seingat saya, menjelang tahun ajaran baru di Amerika ada data mengenai pekerjaan dengan bayaran tertinggi (tulisan Susan Adams). Selain dunia komputer dan internet, ternyata perawat juga menjadi salah satu pekerjaan dengan bayaran tertinggi.
Menariknya, di WEF 2016 juga begitu, Perawat tetap berada di posisi tertinggi bersaing dengan tenaga komputer/internet lainnya (melalui tulisan “The 19 most in-demand jobs for 2016”). Kenapa bisa begitu? Mungkin maksud WEF 2016 ini terkait dengan isu-isu mengenai kesehatan akibat Perubahan Iklim Global (Climate Change),
Itulah 4 poin untuk hari ini, lain waktu disambung lagi.
Link:
Gedung Buruk The Movie di World Economic Forum 2016
Happiness from Good Relationship
Game Theory (Nash Equilibrium)
(Gelumbang, Sumatera Selatan, Indonesia / 29 Januari 2016)
REVISI (DRAFT 2, pukul 18.26-20.19 WIB)