Rabu, 25 November 2015

Cinema Now

Cinema Now

Akhir tahun termasuk momen menentukan bagi jumlah penonton #FilmIndonesia. Meski era "Comic 8" mengubahnya, namun akhir tahun tetap punya potensi. Alasannya sederhana, ya karena... Liburan. (Wurry Parluten)

“Gedung Buruk The Movie” di Warung Gumbira.
Konon, ini sedang ganteng-gantengnya.
How google help your movie title?

Bukan saja pada tahap Pra-Produksi skenario terpaksa di-revisi, ketika sudah 1/5 syuting pun bisa. Mau tak mau harus dilakukan jika salah satu pemain tiba-tiba mengundurkan diri. (Wurry Parluten)

President Hacker bicara tentang “Google Image” dan fungsinya.
Just to know about Medicinal Plants.
When AMC Theatres follow me.
5 level cara belajar.
In social media culture, I call this... Digital Diplomacy (Wurry Parluten).
KeywordMan at Indonesia Security Conference 2011.
He tells about Indonesian beauty.
Me as President Hacker (Just to prove about Google Image).
The first President in Search Engines.
The Sex Pistols were an English punk rock band formed in London in 1975. Although they lasted just two-and-a-half years and produced only four singles and one studio album, Never Mind the Bollocks, Here's the Sex Pistols, they were one of the most influential acts in the history of popular music, initiated a punk movement in the United Kingdom, and inspired many later punk and alternative rock musicians.
Syuting film pendek “Lolo Idak Buyan”.
Paknyang Kutai (Mati Gak Pakek Helm).
Fanpage “Komunitas Al Amin”.
Love me for a Reason.
Consumer Decision.
Save a Prayer.
ADa 7 (tujuh) MACAM PERSAHABATAN yg biasa kita temui, tapi Hanya 1 yg Tersisa Sampai Di Akhirat .
The most influential books.
Jogja Netpac.
Songket Sriwijaya.
Sun in The Night.
Learning Forever (2 Mei 1998).
Bollahu Akbar (2010).
One Last Breath.
100 millions is homeless (with Hal Plotkin).
Community Gak Waras.
Gak Waras.
Menunggu Pagi.
Hari guru.

Pemenang FFI 2015 (Premiere Magazine).

Karya Amalya Ruslan (1).
Karya Amalya Ruslan (2).

Kritikan seorang teman yang menarik, menurutku. Diwakili dengan satu kata yang mengarah pada, "cari perhatian". Sekedar flashback, karirku mengalami kemunduran dan hal menariknya, apa aku siap untuk memulai dari bawah? Apa yg aku lakukan dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir, berasa seperti mengejar ketinggalan. Dan untungnya, aku tidak malu mengakui itu sehingga mempermudah untuk mencaritahu dimana kekuranganku. Satu hal, ternyata mengaku kalah mempercepat aku dalam belajar. Ya, paling tidak, aku sadar diri bahwa banyak yang lebih hebat dari aku, bahkan di usia yg lebih muda.

Tulisan Chalid Arifin dari Buku Rantau dan Renungan 2. Kenangan Pak Chalid orang Minang kelahiran Payakumbuh mengenai Paris ketika itu sangat romantis rasanya dibanding Paris saat ini yang baru saja diguncang bom.
Saya beruntung bisa mengikuti kuliahnya langsung terutama mata kuliah Sejarah Perfileman Dunia. Pintar sekali Pak Chalid bercerita. Selama memberi kuliah beliau berdiri di depan kelas tidak pernah duduk sambil bercerita penuh semangat seperti melakukan monolog di atas panggung teater. Pertama kali mengikuti kuliahnya saya datang terlambat dan masuk kelas dengan sangat santainya dan sangat heran ketika ditegur dengan keras. Dalam hati membatin kirain di kampus ini tidak ada disiplin, wong ketua senatnya ketika itu tidak bisa dibedakan dengan orang gila atau gelandangan, kaki nyeker berambut gimbal dan sangat bau. Dari jarak jauh sudah tercium baunya. Tapi yang membedakan ketua senat ini dengan orang gila adalah cewek bule cantik bisa berjalan menggandeng tangannya, hehe. Begitulah cara ketua senat menunjukkan perlawanan anti kemapanan pada rezim yang tertib.
Walaupun Pak Chalid merupakan bekas tapol, sama sekali tidak muncul pandangan politiknya selama memberikan kuliah termasuk ketika membahas Eisentein dan perfilman Soviet , film2 neorealisme, film avant garde Perancis atau ketika membahas film Charlie Chaplin. Malah Pak Chalid tampak seperti pendukung kapitalisme perfilman ketika membahas panjang lebar film Citizen Kane Orson Welles. Bahkan Tanete yang disertasinya adalah Le cinéma indonésien (1926-1967) tidak memprovakasi mahasiswanya ketika memberi kuliah Sosiologi Emile Durkheim. Begitu juga dengan Tommy Awuy ketika kuliah pengantar filsafat membahas Karl Marx begitu hati-hatinya padahal dalam diskusi di forum Awuy sangat kritis. Yah begitulah suasana ketika jaman Orba dosen2 pun rupanya sudah disensor.
Justru suasana panas terjadi di luar kampus ketika penolakan hadiah Magsaysay buat Pram oleh Mochtar Lubis dkk. Memang penuh anomali masa itu di penghujung Orde Baru. Di tengah represi rezim yang keras, kehidupan borjuisme intelektual sangat melimpah. Menyaksikan beragam acara di TIM yang tak ada habisnya, berkunjung rutin ke CIDES, CSIS mengikuti berbagai acara. Dan tentu saja ke Goethe Institut waktu masih di Matraman menyaksikan Hilmar Farid yang masih sangar dengan Jaker nya, Seno Gumira rambut gondrongnya belum beruban dan Fadli Zon yang sudah mapan di Horison. Ke CCF rutin nonton gratis di sinematek, Japan Fondation dan tentu saja ke TUK waktu Ayu Utami masih seger dan Sahal masih culun dengan segala acaranya yang asik seperti bisa menyaksikan pertunjukan musik Harry Rusli 24 jam nonstop sambil tidur beneran dalam studio. Dan tidak ketinggalan nongkrong di LBH melihat Bang Buyung yang masih gagah dan Budiman Sujatmiko masih kerempeng. Semua tempat itu letaknya berdekatan dan bisa dikunjungi naik bis dengan ongkos masih sangat murah.

Sebenarnya saya bukan tipe orang yang ingin menunjukkan, apa-apa saja yang pernah saya lakukan. Tapi 5 tahun terakhir rasanya beda. Saya belajar untuk menghargai diri sendiri. #Before40

Berhasil berkarya tanpa job.
Firmansyah (Ketika Mas Gagah Pergi), Nino Irawan (Dullah The Movie), Wurry Parluten (Water, USG Gratis Indonesia, Gedung Buruk The Movie, Lolo Idak Buyan).

Pagi yang membuat aku sadar, bahwa setahun ini, aku seperti melakukan hal bodoh di dalam hidup. Ternyata bukan hanya setahun, tapi sudah kurang-lebih 8 tahun kebodohan ini berlangsung. Sambil berfikir di stasiun KRL dan menahan nyeri di perut akibat maag, aku bertanya... Bagaimana nasib anak-anakku kelak? Bukan dalam rangka sedih, tapi mungkin letih.


Romantic Moment in The Railway


















Menunggu Pagi












The Art of Film Marketing
















Selasa, 17 November 2015

God Save Freelancer


12 November 2015, syuting tahap kedua film pendek "Lolo idak Buyan".
Sheila Timothy, "The Art of Film Marketing".
Award for Sheila Timothy.
Just share, ketika skenario berubah saat pemain mengundurkan diri.
Saya memang kampungan. Belajar untuk tidak bermimpi yang tinggi-tinggi. #Before40
Tidak tergesa seperti sebelumnya. #Before40
Inovasi dan pemasaran dalam industri film Indonesia, Sheila Timothy.


Zaky THPM

Social Entrepreneurship





Black Coffee Ice



Lolo idak Buyan