Kamis, 28 Januari 2016

Davos 2016 & Film Gedung Buruk



Davos 2016 punya kenangan tersendiri bagi hidup saya, karena di sinilah saya merasa punya arti dan bisa membahagiakan teman-teman seperjuangan (terutama di Komunitas Al Amin, yang konon sudah bubar). Sebelumnya saya menulis tentang Davos 2016 yang berhubungan dengan investasi serta kejadian Bom Sarinah (Jakarta). Sambil terus menjalani kehidupan seperti halnya orang kampung biasa, kali ini saya akan meneruskan cerita saat mengikuti Davos 2016 (via Teleconference).

Di bawah ini ada beberapa poin yang saya kumpulkan dalam rangka mempelajari kembali, apa-apa saja yang saya dapat sepanjang Davos 2016, antara lain:


1. Gedung Buruk The Movie

Ini adalah film panjang kami yang dibuat sepanjang tahun 2015. Proses pembuatan film ini dimulai tanggal 13 Februari 2015, lalu test screening pertama sekitar bulan Agustus 2015, tepatnya  di lokasi pembuatan. Film ini mengalami 2 kali revisi, hingga yang terakhir adalah draft ke-3.

Film ini pernah mampir ke wall facebook Catherine Ryan Hyde (seorang novelis Amerika), lalu membuat saya ber-partner dengan Furqy Tan (produser film Wanita Tetap Wanita) dan Kikien Kinanthi (penulis dongeng Perancis), ceritanya kami bertiga adalah Produser di film ini (belajar).

Film ini pernah mampir ke Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Koperasi kota Depok, desa Tambangan Kelekar dan yang terakhir mampir ke facebook World Economic Forum 2016. Pada WEF 2016, trailer film ini saya selipkan pada saat hendak bertanya ke John Green (novelis The Fault in Our Stars), sampai berakhir dengan quote dari Melinda Gates dengan keyword “Goals”. Ini sesuai dengan pembahasan saya dan Furqy mengenai tema besar film ini, yaitu mengenai cita-cita atau dalam bahasa Inggris-nya “Goal”.

Melalui Melinda Gates, saya mendapat semacam feedback yang memang connect dengan sasaran dari film ini dibuat, yaitu tentang "Goal". Menurut quote Melinda, yang dalam bahasa Indonesia-nya diartikan sebagai... DENGAN BERCITA-CITA, PALING TIDAK KAMU PUNYA RENCANA. Maksudnya (kurang-lebih), bercita-cita itu perlu, tapi bagaimana cara kita mewujudkannya? Proses-proses apa yang akan kita lewati sehingga cita-cita itu tercapai? Apakah melalui pendidikan, atau melatih skill, atau bagaimana? Itu poin terpenting dari bercita-cita.

Di saat bersamaan, pada blog Bill Gates (yang link-nya didapat dari twitter), saya jadi tahu bahwa kami di Indonesia ini masih lebih beruntung ketimbang mereka yang ada di Afrika. Bill Gates juga menjelaskan tentang masa depan petani Afrika yang cemerlang, karena hanya petani yang bisa menjawab tantangan, “Bagaimana memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dunia?”.

So, film yang dibuat dengan darah dan air mata ini berhasil mendapat respon dari Melinda Gates. Buat saya dan tim, ini adalah kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata,

2. Negosiasi dan Nash Equilibrium

Di sisi lain, saya juga menemukan bahwa untuk bernegosiasi antar negara-negara di dunia itu memerlukan skill yang tidak mudah. Butuh pengetahuan yang tidak sedikit, terutama mengenai isu-isu terkait di setiap negara. Membayangkan bahwa setiap negara punya masalah masing-masing yang harus dibawa ke meja negosiasi (imajinasi langsung ke Konferensi Meja Bundar) buat saya memunculkan pertanyaan, “Bagaimana tehnik agar setiap negara bisa terpuaskan dengan sebuah perjanjian?”. Davos 2016 punya cara tersendiri, namun saya berusaha menyimpulkan dengan apa-apa yang telah saya pelajari.

Bermula dari kebiasaan bermain keyword dan menaklukkan keywords “President Hacker” di Google, saya menyimpulkan bahwa ada 3 syarat dibutuhkan dalam skill negosiasi, antara lain:
a) Separate The People From The Problem,
b) Trust,
c) Nash Equilibrium.

3. Happiness (Kebahagiaan)

Uniknya Davos 2016 adalah saat saya membaca artikel mengenai “kebahagiaan”. Sekian milyar orang di dunia ini tentu ingin mendapat kebahagiaan, bahkan sudah ada nilai ukur kebahagian sebuah negara yang disebut GNH (Gross National Happiness).

Hal yang menarik dari artikel WEF 2016 adalah, ternyata Indonesia termasuk negara yang rendah untuk ukuran kebahagiaan. Lalu muncul pertanyaan di benak saya, “Bagaimana mereka bisa mengukur, sementara orang-orang luar itu tidak pernah datang ke Indonesia?”. Cara yang paling mudah (mungkin) adalah dengan aktivitas di dunia maya. Kita dengan tanpa sadar sudah berpartisipasi dalam sebuah riset untuk mengukur tingkat kebahagiaan.

Kemudian muncul pertanyaan, “Bukankah satu orang bisa punya akun netizen banyak?” sehingga data bisa dimanipulasi? Iya, tapi kan banyak faktor yang menyebabkan kecurangan itu bisa diminimalisir, mulai dari Alamat IP, lalu kesesuaian data dan KTP (e-KTP mungkin), dsb. Jadi kita anggap saja bahwa kita setuju bahwa pada saat survei, kita termasuk kurang bahagia.

Namun menurut saya, kita juga bisa membuat survei tandingan kalau mau, yang tertutup dari pihak luar sehingga ukuran kebahagiaan kita bisa diwakili oleh satu sumber, semisal BPS (Biro Pusat Statistik). Jadi pihak luar tidak bisa semena-mena men-cap bahwa negara kita kurang bahagia hanya berbekal status galau di social media (misal),

4. Pekerjaan yang menggigit di tahun 2016

Sekitar 2014, saya sering memperhatikan email dari Forbes mengenai informasi pekerjaan yang bergengsi. Seingat saya, menjelang tahun ajaran baru di Amerika ada data mengenai pekerjaan dengan bayaran tertinggi (tulisan Susan Adams). Selain dunia komputer dan internet, ternyata perawat juga menjadi salah satu pekerjaan dengan bayaran tertinggi.

Menariknya, di WEF 2016 juga begitu, Perawat tetap berada di posisi tertinggi bersaing dengan tenaga komputer/internet lainnya (melalui tulisan “The 19 most in-demand jobs for 2016”). Kenapa bisa begitu? Mungkin maksud WEF 2016 ini terkait dengan isu-isu mengenai kesehatan akibat Perubahan Iklim Global (Climate Change),

Itulah 4 poin untuk hari ini, lain waktu disambung lagi.


Link:
Gedung Buruk The Movie di World Economic Forum 2016
Happiness from Good Relationship
Game Theory (Nash Equilibrium)



(Gelumbang, Sumatera Selatan, Indonesia / 29 Januari 2016)

REVISI (DRAFT 2, pukul 18.26-20.19 WIB)




Selasa, 26 Januari 2016

Davos 2016, Bom di Jakarta & Investasi



Semuanya dimulai dari kebiasaan tahun lalu, dimana aku coba menyimpan embed dari kegiatan World Economic Forum (WEF). Tahun ini aku ikutan lagi via online, karena terus terang, rasanya tidak mungkin kalau aku berangkat ke Davos (Swiss) secara biaya tentu saja mahal.

Beberapa bulan sebelum tanggal 20 Januari 2016, aku sesekali mendapat info mengenai WEF dari fanpage di Facebook. Dari situ aku jadi tahu bahwa tema WEF tahun ini adalah #4IR, yang kurang-lebih berarti “Mastering 4th Industrial Revolution”, dan acara WEF 2016 berlangsung dari tanggal 20-23 Januari 2016. Info demi info yang ada di Facebook membuat aku tertarik untuk ikutan lomba essay, sehingga menghasilkan sebuah tulisan yang berjudul “Me, Myself, & 4th Industrial Revolution”. Terus-terang aku tidak tahu, mengapa memilih judul itu. Hmmm... mungkin lantaran begitu dekat dengan aku, atau mungkin lantaran aku menyukai sesuatu yang bersifat science dan masa depan, atau bisa juga lantaran teringat salah satu cita-cita zaman dulu, ingin menjadi Astronot.

Lomba essay ini membuat aku belajar tentang medium dot com, sebuah wadah yang konon adalah pengembangan dari twitter. Sebenarnya aku belum begitu paham tentang medium ini, namun setelah dipelajari secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sedikit-banyak aku jadi tahu bahwa medium diperuntukkan untuk mereka yang hobi menulis. Jika twitter hanya membatasi tweet dengan 140 karakter, kalau medium konon terdiri dari 900 kata (minimal).

Jujur saja, essay di medium membuat aku berfikir untuk menang. Soalnya kebayang, bagaimana rasanya tulisan kita dibaca oleh jutaan umat (Secara WEF, lho). Tapi ke belakang, aku sama sekali tidak peduli. Malah memasuki tanggal 20 Januari, aku fokus ke akun twitter @wef dan @davos usai mendapat email dari Adrian Monck.

Di bawah ini adalah rentetan peristiwa menjelang WEF 2016, yang kuanggap, sebagai pengalaman pertama memahami dunia teleconference (anggap saja seperti itulah, biar keren dikit), antara lain:

1. Setelah tahun kemaren, kali ini aku jadi tahu apa beda akun twitter @davos dan @wef. Akun twitter @wef ternyata berisi makalah dan kesimpulan acara. Jadi kalau kita blank dengan suatu materi, kita bisa ngecek langsung di akun twitter @wef. Sedang @davos, berisi live tweet sepanjang forum. Mulai dari quote-quote menarik para panelis, kode bahwa acara sedang dimulai, sampai informasi live streaming. Ini baru aku ketahui tahun ini, karena tahun kemaren aku hanya fokus di embed dan tak peduli apa isi materi mengenai apa (jujur saja),

2. Setelah mengetahui dua hal tersebut, maka aku mulai membiasakan diri untuk menjadi bagian dari forum. Bayangkan, posisiku di sebuah desa bernama Gelumbang, yang jaraknya kurang-lebih 58 km dari Jembatan Ampera, sedang mengikuti acara yang berlangsung di kota salju bernama Davos, Swiss. Teknologi benar-benar membuat aku jadi bagian dari semua itu. Dimulai dari email Adrian Monck, memantau tweet, hingga merangkum respon dalam link-link. Merangkum aku lakukan untuk menelaah ulang, apa-apa saja poin yang dibahas selama acara. Minimal yang menarik buat aku,

3. Tanggal 14 Januari 2016, social media dikejutkan oleh bom di Jakarta. Aku bukan main terkejut, soalnya sempat membaca tentang iklim investasi di Indonesia (diwakili kawasan ASEAN) yang berada di peringkat ke-3. Berita mengenai bom ini tentu saja membuat shock, aku sempat menelusuri berbagai berita terkait isu tersebut. Untungnya semua itu tidak berakibat buruk terhadap psikologis masyarakat kita, malah ini membuat kita (Indonesia) menjadi lebih bersatu dan mengutuk tindakan terorisme,

4. Di sisi lain, aku juga menemukan sebuah surat dari medium dot com. Surat terbuka ini ditulis oleh David Swan (seorang tentara Amerika),

5. Ini adalah pengalamanku melihat respon di dunia maya terkait berita bom di Jakarta. Respon yang aku telaah mulai dari satu artikel ke artikel lain dengan keyword di google, “Indonesia”. Ternyata google masih banyak menghadirkan berita positif tentang Indonesia. Inilah yang membuat aku merasa nyaman untuk ikut memantau WEF 2016, sekaligus belajar. Karena toh aku masih berkuliah di “Ekonomi Pembangunan”, meskipun sudah beberapa tahun cuti. Dari sekian banyak berita, artikel satu ini yang menarik pemikiranku. Terlepas dari siapa yang menjadi objek artikel-nya, yang jelas, isinya membuat aku berfikir. Poin artikelnya adalah, “Peta Perubahan Iklim Investasi di Indonesia”.

Sementara ini 5 poin di atas yang menjadi catatan awal. Lain waktu disambung lagi, karena banyak cerita yang aku dapat dari hasil teleconference (biar keren) dengan Davos 2016.


(Gelumbang, Sumatera Selatan, Indonesia / 25- 26 Januari 2016)



Senin, 25 Januari 2016

Extreme - More Than Words

Wikipedia

Saying I love you
(Berucap, ku mencintaimu)
Is not the words I want to hear from you
(Itu bukan kata yang kuingin darimu)
It’s not that I want you
(Bukan, ku tetap ingin kamu)
Not to say, but if you only knew
(Bukan berucap, namun bila kau tahu)

How easy it would be to show me how you feel
(Mudah, tunjukkan padaku bagaimana perasaanmu)
More than words is all you have to do to make it real
(Lebih dari sekedar kata, jadikan itu semua nyata)
Then you wouldn’t have to say that you love me
(Kau pun tak perlu berucap cinta padaku)
Cos I’d already know
(Karena ku tlah tahu)

What would you do if my heart was torn in two
(Apa yang kau lakukan bila hatiku tercabik-cabik)
More than words to show you feel
(Bukan kata tuk tunjukkan perasaanmu)
That your love for me is real
(Tentang cintamu padaku yang nyata)

What would you say if I took those words away
(Apa yang kan kau ucap bila semua kata lenyap)
Then you couldn’t make things new
(Lalu kau tak tahu harus berbuat apa)
Just by saying I love you
(Hanya berkata, cintaku)

More than words
(Lebih dari sekedar kata)

Now I’ve tried to talk to you and make you understand
(Kini ku tlah jelaskan padamu dan buat kau mengerti)
All you have to do is close your eyes
(Yang perlu kau lakukan adalah pejamkan mata)
And just reach out your hands and touch me
(Ulurkan tanganmu dan sentuh jemariku)
Hold me close don’t ever let me go
(Genggam erat aku, jangan biarkan ku pergi)

More than words is all I ever needed you to show
(Bukan sekedar kata yang kubutuhkan darimu)
Then you wouldn’t have to say that you love me
(Kau tak perlu berucap tentang cinta padaku)
Cos I’d already know
(Karena ku tlah tahu)

What would you do if my heart was torn in two
More than words to show you feel
That your love for me is real
What would you say if I took those words away
Then you couldn’t make things new
Just by saying I love you

More than words


Wikipedia

Acoustic music is music that solely or primarily uses instruments that produce sound through acoustic means, as opposed to electric or electronic means.

MTV Unplugged is a television series showcasing musical artists usually playing acoustic instruments. 



(January 25, 2016 / Gelumbang, South Sumatra, Indonesia)





Minggu, 24 Januari 2016

Responsible Innovative for The Global Future










Note

Note

Another Note from Davos.

Note

"Goals are only wishes unless you have a Plan", Melinda Gates.
Preparing for an accelerated Future (Davos 2016).
Forest Fires in Indonesia (WEF 2016).
Final Day of Davos 2016.
How much does art and culture contribute to economic growth? (World Economic Forum).
Responsible Innovation for The Global Future.
This is process, how do I find conclusion for Davos 2016.
It’s time to kick corruption out of sport | World Economic Forum.

A Recap of Davos 2016.











Minggu, 17 Januari 2016

#Before40 in January


Twitter

Twitter

Twitter

Karena... Siapa sih yang nggak mau hidup damai?


Sabtu, 16 Januari 2016

#KamiTidakTakut











Kaskus

Tingkat Optimisme Orang Indonesia Tertinggi ke-2 di Dunia.

Sabtu, 09 Januari 2016

The End of Jenderal Luten


(July, 2013 - January 10, 2016)
Sekitaran kantor BNN
Everything about Marathon Man
Berjuang dengan jalan masing-masing
From The Window
Semua bermula dari yang sedikit






Rabu, 06 Januari 2016

Fake Plastic Trees


"Fake Plastic Trees"
(Pohon Plastik Tiruan)


Her green plastic watering can
(Hijaunya plastik basahi kaleng)
For her fake Chinese rubber plant
(Dari tumbuhan palsu buatan Cina)
In the fake plastic earth
(Di dunia plastik tiruan)

That she bought from a rubber man
(Dia dibeli dari lelaki karet)
In a town full of rubber plans
(Di kota berisi tanaman karet)
To get rid of itself
(Tuk gembirakan diri)

It wears her out, it wears her out
(Sungguh lelah, sungguh letih)
It wears her out, it wears her out
(Sungguh lelah, sungguh letih)

She lives with a broken man
(Dia bersama lelaki yang hancur)
A cracked polystyrene man
(Seorang polystyrene rapuh)
Who just crumbles and burns
(Yang remuk dan terbakar)

He used to do surgery
(Harusnya dia men-dempul diri)
For girls in the eighties
(Demi generasi 80-an)
But gravity always wins
(Namun gravitasi selalu menang)

It wears him out, it wears him out
(Sungguh lelah, sungguh letih)
It wears him out, it wears him out
(Sungguh lelah, sungguh letih)

She looks like the real thing
(Dia seperti nyata)
She tastes like the real thing
(Dia berasa nyata)
My fake plastic love
(Kekasih plastik tiruan)

But I can't help the feeling
(Tapi ku tak dapat rasakan)
I could blow through the ceiling
(Ku berhembus lalui loteng)
If I just turn and run
(Andai dapat berbalik dan berlari)

It wears me out, it wears me out
(Sungguh lelah, sungguh letih)
It wears me out, it wears me out
(Sungguh lelah, sungguh letih)

If I could be who you wanted
(Bila ku dapat menjadi yang kau inginkan)
If I could be who you wanted all the time
(Bila ku dapat menjadi yang kau inginkan sepanjang waktu)

All the time...
(Sepanjang waktu...)
All the time...
(Sepanjang waktu...)


(Gelumbang, South Sumatra, Indonesia/ January 6, 2015)