Jumat, 27 November 2015
Rabu, 25 November 2015
Cinema Now
Cinema Now |
Akhir tahun
termasuk momen
menentukan bagi jumlah penonton #FilmIndonesia. Meski era "Comic 8"
mengubahnya, namun akhir tahun tetap punya potensi. Alasannya sederhana, ya
karena... Liburan. (Wurry Parluten)
“Gedung Buruk
The Movie” di Warung Gumbira.
Konon,
ini sedang ganteng-gantengnya.
How google help
your movie title?
Bukan saja pada
tahap Pra-Produksi skenario terpaksa di-revisi, ketika sudah 1/5 syuting pun
bisa. Mau tak mau harus dilakukan jika salah satu pemain tiba-tiba mengundurkan
diri. (Wurry Parluten)
President
Hacker bicara tentang “Google Image” dan fungsinya.
Just to know
about Medicinal
Plants.
When AMC
Theatres follow me.
5 level
cara belajar.
In social media
culture, I call this... Digital Diplomacy
(Wurry Parluten).
KeywordMan
at Indonesia Security Conference 2011.
He tells
about Indonesian beauty.
Me as President
Hacker
(Just to prove about Google Image).
The first
President in Search Engines.
The Sex Pistols
were an English punk rock band formed in London in 1975. Although they lasted
just two-and-a-half years and produced only four singles and one studio album,
Never Mind the Bollocks, Here's the Sex Pistols, they were one of the most influential acts in the
history of popular music, initiated a punk movement in the United Kingdom, and
inspired many later punk and alternative rock musicians.
Syuting film
pendek “Lolo
Idak Buyan”.
Paknyang Kutai
(Mati Gak Pakek Helm).
Fanpage
“Komunitas Al Amin”.
Love me for a Reason.
Consumer Decision.
Save a Prayer.
ADa 7 (tujuh)
MACAM PERSAHABATAN yg biasa kita temui, tapi Hanya 1 yg Tersisa Sampai Di
Akhirat .
The most influential
books.
Jogja Netpac.
Songket
Sriwijaya.
Sun in
The Night.
Learning
Forever (2 Mei 1998).
Bollahu
Akbar (2010).
One Last Breath.
100 millions
is homeless (with Hal Plotkin).
Community Gak Waras.
Gak Waras.
Menunggu Pagi.
Hari guru.
Pemenang
FFI 2015 (Premiere Magazine).
Karya
Amalya Ruslan (1).
Karya
Amalya Ruslan (2).
Kritikan
seorang teman yang menarik, menurutku. Diwakili dengan satu kata yang mengarah
pada, "cari perhatian". Sekedar flashback, karirku mengalami
kemunduran dan hal menariknya, apa aku siap untuk memulai dari bawah? Apa yg
aku lakukan dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir, berasa seperti mengejar
ketinggalan. Dan untungnya, aku tidak malu mengakui itu sehingga mempermudah
untuk mencaritahu dimana kekuranganku. Satu hal, ternyata mengaku kalah
mempercepat aku dalam belajar. Ya, paling tidak, aku sadar diri bahwa banyak
yang lebih hebat dari aku, bahkan di usia yg lebih muda.
Tulisan Chalid
Arifin dari Buku Rantau dan Renungan 2. Kenangan Pak Chalid orang Minang
kelahiran Payakumbuh mengenai Paris ketika itu sangat romantis rasanya dibanding
Paris saat ini yang baru saja diguncang bom.
Saya beruntung
bisa mengikuti kuliahnya langsung terutama mata kuliah Sejarah Perfileman
Dunia. Pintar sekali Pak Chalid bercerita. Selama memberi kuliah beliau berdiri
di depan kelas tidak pernah duduk sambil bercerita penuh semangat seperti
melakukan monolog di atas panggung teater. Pertama kali mengikuti kuliahnya
saya datang terlambat dan masuk kelas dengan sangat santainya dan sangat heran
ketika ditegur dengan keras. Dalam hati membatin kirain di kampus ini tidak ada
disiplin, wong ketua senatnya ketika itu tidak bisa dibedakan dengan orang gila
atau gelandangan, kaki nyeker berambut gimbal dan sangat bau. Dari jarak jauh
sudah tercium baunya. Tapi yang membedakan ketua senat ini dengan orang gila adalah
cewek bule cantik bisa berjalan menggandeng tangannya, hehe. Begitulah cara
ketua senat menunjukkan perlawanan anti kemapanan pada rezim yang tertib.
Walaupun Pak
Chalid merupakan bekas tapol, sama sekali tidak muncul pandangan politiknya
selama memberikan kuliah termasuk ketika membahas Eisentein dan perfilman
Soviet , film2 neorealisme, film avant garde Perancis atau ketika membahas film
Charlie Chaplin. Malah Pak Chalid tampak seperti pendukung kapitalisme
perfilman ketika membahas panjang lebar film Citizen Kane Orson Welles. Bahkan
Tanete yang disertasinya adalah Le cinéma indonésien (1926-1967) tidak
memprovakasi mahasiswanya ketika memberi kuliah Sosiologi Emile Durkheim.
Begitu juga dengan Tommy Awuy ketika kuliah pengantar filsafat membahas Karl
Marx begitu hati-hatinya padahal dalam diskusi di forum Awuy sangat kritis. Yah
begitulah suasana ketika jaman Orba dosen2 pun rupanya sudah disensor.
Justru suasana
panas terjadi di luar kampus ketika penolakan hadiah Magsaysay buat Pram oleh
Mochtar Lubis dkk. Memang penuh anomali masa itu di penghujung Orde Baru. Di
tengah represi rezim yang keras, kehidupan borjuisme intelektual sangat
melimpah. Menyaksikan beragam acara di TIM yang tak ada habisnya, berkunjung
rutin ke CIDES, CSIS mengikuti berbagai acara. Dan tentu saja ke Goethe
Institut waktu masih di Matraman menyaksikan Hilmar Farid yang masih sangar
dengan Jaker nya, Seno Gumira rambut gondrongnya belum beruban dan Fadli Zon
yang sudah mapan di Horison. Ke CCF rutin nonton gratis di sinematek, Japan
Fondation dan tentu saja ke TUK waktu Ayu Utami masih seger dan Sahal masih
culun dengan segala acaranya yang asik seperti bisa menyaksikan pertunjukan
musik Harry Rusli 24 jam nonstop sambil tidur beneran dalam studio. Dan tidak
ketinggalan nongkrong di LBH melihat Bang Buyung yang masih gagah dan Budiman
Sujatmiko masih kerempeng. Semua tempat itu letaknya berdekatan dan bisa
dikunjungi naik bis dengan ongkos masih sangat murah.
Sebenarnya saya
bukan tipe orang yang ingin menunjukkan, apa-apa saja yang pernah saya lakukan.
Tapi 5 tahun terakhir rasanya beda. Saya belajar untuk menghargai diri sendiri.
#Before40
Berhasil
berkarya tanpa job.
Firmansyah (Ketika Mas Gagah
Pergi), Nino Irawan (Dullah The Movie), Wurry Parluten (Water, USG Gratis
Indonesia, Gedung Buruk The Movie, Lolo Idak
Buyan).
Pagi yang
membuat aku sadar, bahwa setahun ini, aku seperti melakukan hal bodoh di dalam
hidup. Ternyata bukan hanya setahun, tapi sudah kurang-lebih 8 tahun kebodohan
ini berlangsung. Sambil berfikir di stasiun KRL dan menahan nyeri di perut
akibat maag, aku bertanya... Bagaimana nasib anak-anakku kelak? Bukan dalam
rangka sedih, tapi mungkin letih.
Selasa, 17 November 2015
God Save Freelancer
12 November 2015, syuting tahap kedua film pendek "Lolo idak Buyan".
Sheila Timothy, "The Art of Film Marketing".
Award for Sheila Timothy.
Just share, ketika skenario berubah saat pemain mengundurkan diri.
Saya memang kampungan. Belajar untuk tidak bermimpi yang tinggi-tinggi. #Before40
Tidak tergesa seperti sebelumnya. #Before40
Inovasi dan pemasaran dalam industri film Indonesia, Sheila Timothy.
Zaky THPM |
Social Entrepreneurship |
Black Coffee Ice |
Lolo idak Buyan |
Langganan:
Postingan (Atom)